BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sastra pada dasarnya merupakan ciptaan, sebuah kreasi bukan semata-mata sebuah imitasi (Luxemburg, 1989: 5). Karya sastra sebagai bentuk dan hasil sebuah pekerjaan kreatif, pada hakikatnya adalah suatu media yang mendayagunakan bahasa untuk mengungkapkan tentang kehidupan manusia. Oleh sebab itu, sebuah karya sastra pada umumnya berisi tentang permasalahan yang melingkupi kehidupan manusia. Kemunculan sastra lahir dilatar belakangi adanya dorongan dasar manusia untuk mengungkapkan eksistensi dirinya (Sarjidu, 2004: 2). Jenis sastra ada tiga, yaitu, prosa, fiksi dan drama. Sebelum mengenal karya sastra alangkah baiknya kita mengetahui dahulu definisi karya sastra. Sastra berasal dari bahasa sansekerta yaitu susastra, su artinya baik atau indah dan sastra artinya tulisan. Jadi, susastra artinya tulisan yang indah, tapi bukan bentuk tulisannya yang indah seperti kaligrafi. Yang dimaksud disini adalah isi kata-katanya yang indah dan menggugah hati pembaca sehingga emosi pembaca larut dalam tulisan yang dibacanya. Karya sastra adalah karya rekaan penulis berdasarkan sudut pandangnya, pengalamannya, wawasan ilmu pengetahuannya, apa yang dilihatnya dan suasana hatinya. Jadi, karya sastra adalah karya imajinasi penulis yang dituangkan dalam bentuk tulisan. Kata prosa berasal dari bahasa Latin, prosa yang artinya terus terang. Sedangkan menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), prosa adalah karangan bebas yang tidak terikat oleh kaidah yang terdapat dalam puisi. Secara sempit prosa adalah karya imajiner dan estetik. Dalam kesusastraan juga disebut fiksi, teks naratif, wacana naratif.
Fiksi menurut Altenbernd dan Lewis ( 1966 : 14 ) dapat diartikan sebagai prosa naratif yang bersifat imajinatif, namun biasanya masuk akal dan mengandung kebenaran yang mendramatisasi hubungan-hubungan antar manusia. Pengarang mengemukakan hal itu berdasarkan pengalaman dan pengamatannya terhadap kehidupan. Namun, hal itu dilakukan secara selektif dan dibentuk sesuai dengan tujuannya yang sekaligus memasukan unsur hubungan dan dengan penerangan terhadap pengalaman kehidupan manusia. Drama adalah salah satu jenis karya sastra yang mempunyai kelebihan dibandingkan dengan karya sastra jenis lain, yaitu unsur pementasan yang mengungkapkan isi cerita secara langsung dan dipertontonkan di depan umum. Meskipun demikian, ada juga naskah drama yang sifatnya hanya untuk dibacaan atau sering disebut closed drama. Berdasarkan ciri-cirinya, drama memiliki sifat penokohan yang mempunyai peranan penting dalam mengungkap cerita di dalamnya.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian prosa fiksi dan drama?
2. Apa saja jenis-jenis prosa fiksi dan drama?
3. Apa saja unsur-unsur fiksi dan drama?
4. Apa saja fakta cerita rekaan?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian prosa, fiksi dan drama.
2. Untuk mengetahui jenis-jenis prosa fiksi da.n drama
3. Untuk mengetahui unsur-unsur fiksi dan drama.
4. Untuk mengetahui fakta cerita rekaan.
BAB II PEMBAHASAN PROSA FIKSI DAN DRAMA
2.1 Pengertian Prosa Fiksi dan Drama
Prosa dalam kesusastraan sering disebut juga dengan istilah fiksi. Kata prosa diambil dari bahasa Inggris, yakni prose. Istilah prosa sebenarnya dapat menyaran pada pengertian yang lebih luas. Ia dapat mencakup berbagai karya tulis yang ditulis dalam bentuk prosa, bukan dalam bentuk puisi atau drama. Prosa dalam pengertian ini tidak hanya terbatas pada tulisan yang digolongkan sebagai karya sastra, melainkan juga berbagai karya nonfiksi termasuk tulisan berita dalam surat kabar. Secara teoritis karya fiksi dapat dibedakan dengan karya nonfiksi, walau tentu saja pembedaan itu tidak bersifat mutlak, baik yang menyangkut unsur kebahasaan maupun unsur isi permasalahan yang dikemukakan, khususnya yang berkaitan dengan data-data faktual, dunia realitas. Karya Imajiner dan Estetis. Prosa dalam pengertian kesastraan juga disebut fiksi (fiction), teks naratif dalam pendekatan struktural dan semiotik. Istilah fiksi dalam pengertian ini berarti cerita rekaan (cerkan) atau cerita khayalan. Hal itu disebabkanfiksi merupakan karya naratif yang isinya tidak menyaran pada kebenaran sejarah (Abrams, 1981 : 61).
Istilah fiksi sering dipergunakan dalam pertentangannya dengan realitas sesuatu yang benar ada dan terjadi di dunia nyata sehingga keberaniannya pun dapat dibuktikan dengan data empiris. Sebagai sebuah kaarya imajiner, fiksi menawarkan berbagai permasalahan manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan. Oleh karena itu, fiksi menurut Altenbend dan Lewis (1966: 14), dapat diartikan sebagai prosa naratif yang bersifat imajinatif, namun biasanya masuk akal dan mengandung kebenaran yang mendramatisasikan hubungan-hubungan antarmanusia. Pengarang mengemukakan hal itu berdasarkan pengalaman dan pengamatannya terhadap kehidupan. Namun, hal itu dilakukan secara selektif dan dibentuk sesuai dengan tujuannya yang sekaligus memasukkan unsur hiburan dan penerangan terhadap pengalaman kehidupan manusia. Betapapun saratnya pengalaman dan permasalahan kehidupan yang ditawarkan, sebuah karya fiksi haruslah tetap merupakan cerita yang menarik, merupakan cerita yang menarik, tetap merupakan bangunan struktur yang koheren, dan tetap mempunyai tujuan estetik (Wellek & Warren, 1956: 212). Kebenaran fiksi. Ada perbedaan antara kebenaran fiksi dan kebenaran dunia nyata. Kebenaran dalam dunia fiksi adalah kebenaran yang sesuai dengan keyakinan pengarang, kebeneran yang yang telah diyakini “keabsahannya” sesuai dengan pandangannya terhadap masalah hidup dan kehidupan. Kebenaran dalam karya fiksi tidak harus sejalan dengan kebenaran yang berlaku di dunia nyata, misalnya kebenaran dari segi hukum, moral, agama, logika, dan sebagainya. Sesuatu yang tidak mungkin terjadi dan tidak dianggap benar di dunia, dapat saja terjadi dan dianggap benar di dunia fiksi. Misalnya, dalam peristiwa pembunuha. Sudjiman (1984:17) menyatakan bahwa fiksi adalah cerita rekaan, kisahan yang mempunyai tokoh, lakuan, dan alur yang dihasilkan oleh daya khayal atau imajinasi. Jika berbicara fiksi, maka konteksnya mengingatkan kepada karya sastra. Sebaliknya jika berbicara karya sastra, maka konteks tersebut akan mengarahkan kepada sebuah karya sastra yang bersifat fiktif. Cerita fiksi dihasilkan oleh daya imajinasi pengarang, maka seluruh aspek yang ada di dalam sebuah prosa tentunya juga berdasarkan khayalan.
Usaha penciptaan peristiwa atau pun tokoh sebagai sesuatu yang benar-benar terjadi dalam cerita tersebut dapat ditinjau dari dua faktor utama, yaitu:
1. Faktor proses, Proses penciptaan dilihat dari subjektifitas sastrawan saat memproses alam sekitarnya dengan imajinasinya.
2. Faktor sumber penciptaan Semua hal yang terjadi di dalam semesta, terutama yang berlangsung di sekitar kehidupan pengarangnya. Subjektifitas pengarang turut menentukan bobot sebuah fiksi. Semakin tajam imajinasi pengarang ketika menciptakan permasalahan dalam cerita, biasanya semakin berbobot fiksi tersebut. Dengan demikian, maka semakin terintgrasi pula pengarang tersebut sebagai seorang sastrawan. Keindahan dan manfaat yang tercipta dalam sebuah fiksi dijadikan sebagai tolak ukur untuk menetapkan berbobot tidaknya sebuah karya sastra.
Drama Menurut Hassanudin, drama adalah karya yang memiliki dua dimensi sastra dan dimensi seni pertunjukkan.
Secara etimologis kata drama berasal dari bahasa Yunani asal katanya “dramoi” artinya menirukan perbuatan yang mengutamakan gerak. Menurut kamus drama adalah suatu karangan dalam bentuk prosa atau fiksi yang disajikan dalam dialog atau pantomim. Pengertian drama dari segi sastra, yaitu suatu naskah individu yang bernilai sastra dan bersifat “Script oriented” (berorientasi pada bacaan/naskah).
Pengertian drama dari segi teater atau pementasan, yaitu suatu cerita/ kisah kehidupan manusia yang disusun untuk dipertunjukkan oleh para pelaku, melalui perbuatan diatas pentas dan ditonton oleh publik (penonton) dan bersifat “Actor Oriented” (berorientasi pada pelaku).
Adapun ciri-ciri drama sebagai berikut:
1. Berbentuk dialog, yaitu adanya percakapan dua arah antar tokoh atau pelaku drama.
2. Ada para pelaku, yaitu memiliki pemeran atau tokoh cerita baik protagonis maupun antagonis.
3. Dipentaskan atau dipertontonkan, yaitu diselenggarakan di atas panggung baik tertutup maupun terbuka dengan tujuan untuk dinikamati oleh orang banyak.
4. Ada penonton, yaitu ada orang yang melihat atau hadir pada acara drama.
Ada dua unsur yang yang dimiliki oleh drama, yaitu intrinsik dan ekstrinsik.
1) Unsur Intrinsik Merupakan unsur yang membentuk di dalam suatu drama.
Yang termasuk unsur intrinsik drama adalah:
• Tema, yaitu ide pokok dalam cerita drama.
• Alur / plot, yaitu rangkaian peristiwa dari awal sampai akhir dalam suatu drama yang saling berhubungan.
• Sudut pandang penceritaan, yaitu cara seorang pengarang atau penulis drama dalam menceritakan tokoh drama.
• Perwatakan / tokoh, yaitu karakter tokoh dalam drama.
• Latar, yaitu tempat berlangsungnya suatu cerita dalam drama.
2) Unsur Ekstrinsik Merupakan unsur yang berasal dari luar kerangka penyusun drama.
Yang termasuk unsur ekstrinsik adalah sebagi berikut:
• Latar budaya sosial dan budaya di sekitar tempat tinggal pengarang.
• Latar belakang kehidupan pengarang.
2.2 Jenis-Jenis Prosa Fiksi dan Drama
Ditinjau dari segi penyebarannya, prosa fiksi dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni prosa lama (tradsional) dan prosa modern. Prosa tradisional lebih sering dikenal dengan prosa lisan sementara prosa modern dikenal dengan prosa tulisan. Fiksi tradisional lebih mengandalkan oral gestur yang awalnya berkembang dalam masyarakat daerah yang belum memiliki tradisi tulis. 1. Prosa lama Yaitu karya sastra yang belum mendapat pengaruh dari sastra atau kebudayaan barat. Perbedaan prosa lama dan prosa baru adalah sebagai berikut: Prosa lama cenderung bersifat imajinatif, istanasentris, didaktif, anonim, dan bentuk serta isinya statis, sedangkan prosa baru bersifat realistis (melukiskan kenyataan sehari-hari), mengalami perubahan terus menerus sesuai dengan pembahasan masa, dan tidak anonim (Karsinem, 2013: 51) .
Yang termasuk prosa lama ialah:
a) Dongeng Yaitu bentuk prosa lama yang semata-mata berdasarkan khayal dan disampaikan secara lisan. Contohnya: dongeng kancil yang cerdik..
b) Hikayat Yaitu prosa lama yang isinya mengenai kejadian-kejadian di lingkungan istana, tentang keluaga raja. Contohnya: Hikayat Hang Tuah, Hikayat Amir Hamzah.
c) Silsilah atau Tambo Yaitu semacam sejarah, tetapi isinya sudah bercampur dengan khayalan sehingga banyak cerita yang tidak terencana oleh pikiran sehat. Contohnya: Sejarah Melayu
2. Prosa Baru Prosa baru adalah karangan prosa yang timbul setelah mendapat pengaruh sastra atau budaya Barat. Adapun bentuk sastra baru sebagai berikut:
1. Roman Roman adalah bentuk prosa baru yang mengisahkan kehidupan pelaku utamanya dengan segala suka dukanya. Roman mengungkap adat atau aspek kehidupan suatu masyarakat secara mendetail dan menyeluruh, alur bercabang-cabang, banyak digresi (pelanturan). Roman terbentuk dari pengembangan atas seluruh segi kehidupan pelaku dalam cerita tersebut. Berdasarkan kandungan isinya, roman dibedakan atas beberapa macam, antara lain sebagai berikut:
a. Roman bertendens, yang di dalamnya terselip maksud tertentu, atau yang mengandung pandangan hidup yang dapat dipetik oleh pembaca untuk kebaikan. Contoh: Layar Terkembang oleh Sutan Takdir Alisyahbana, Salah Asuhan oleh Abdul Muis, Darah Muda oleh Adinegoro.
b. Roman sosial, memberikan gambaran tentang keadaan masyarakat. Biasanya yang dilukiskan mengenai keburukan-keburukan masyarakat yang bersangkutan. Contoh: Sengsara Membawa Nikmat oleh Tulis St. Sati, Neraka Dunia oleh Adinegoro.
c. Roman sejarah, yaitu roman yang isinya dijalin berdasarkan fakta historis, peristiwa-peristiwa sejarah, atau kehidupan seorang tokoh dalam sejarah. Contoh: Hulubalang Raja oleh Nur St. Iskandar, Tambera oleh Utuy Tatang Sontani, Surapati oleh Abdul Muis. d. Roman psikologis, yaitu roman yang lebih menekankan gambaran kejiwaan yang mendasari segala tindak dan perilaku tokoh utamanya. Contoh: Atheis oleh Achdiat Kartamiharja, Katak Hendak Menjadi Lembu oleh Nur St. Iskandar, Belenggu oleh Armijn Pane.
2. Novel Novel berasal dari Italia yaitu novella ‘berita’. Novel adalah bentuk prosa baru yang melukiskan sebagian kehidupan pelaku utamanya yang terpenting, paling menarik, dan yang mengandung konflik. Konflik atau pergulatan jiwa tersebut mengakibatkan perobahan nasib pelaku. lika roman condong pada idealisme, novel pada realisme. Biasanya novel lebih pendek daripada roman dan lebih panjang dari cerpen. Contoh: Ave Maria oleh Idrus, Keluarga Gerilya oleh Pramoedya Ananta Toer, Perburuan oleh Pramoedya Ananta Toer, Ziarah oleh Iwan Simatupang, Surabaya oleh Idrus.
3. Cerpen Cerpen adalah bentuk prosa baru yang menceritakam sebagian kecil dari kehidupan pelakunya yang terpenting dan paling menarik. Di dalam cerpen boleh ada konflik atau pertikaian, akan telapi hat itu tidak menyebabkan perubahan nasib pelakunya. Contoh: Radio Masyarakat oleh Rosihan Anwar, Bola Lampu oleh Asrul Sani, Teman Duduk oleh Moh. Kosim, Wajah yang Bembah oleh Trisno Sumarjo, Robohnya Surau Kami oleh A.A. Navis.
4. Riwayat (biografi) Riwayat (biografi) adalah suatu karangan prosa yang berisi pengalaman-pengalaman hidup pengarang sendiri (otobiografi) atau bisa juga pengalaman hidup orang lain sejak kecil hingga dewasa atau bahkan sampai meninggal dunia. Contoh: Soeharto Anak Desa, Prof. Dr. B.I Habibie, Ki Hajar Dewantara. Jenis-Jenis Drama Berdasarkan masanya drama dapat dibedakan atas:
a. Drama Baru adalah drama yang memiliki tujuan untuk memberikan pendidikan kepada masyarakat yang umumnya bertema kehidupan manusia sehari-hari.
b. Drama Lama adalah drama khayalan yang umumnya menceritakan tentang kesaktian, kehidupan istanan atau kerajaan, kehidupan dewa-dewi, kejadian luar biasa, dan lain sebagainya. Macam-macam drama berdasarkan isi kandungan cerita :
1. Drama komedi, adalah drama yang lucu dan menggelitik penuh keceriaan.
2. Drama tragedi, adalah drama yang ceritanya sedih penuh kemalangan.
3. Drama tragedi komedi, adalah drama yang ada sedih dan ada lucunya.
4. Opera adalah drama yang mengandung musik dan nyanyian.
5. Lelucon atau dagelan adalah drama yang lakonnya selalu bertingkah pola jenaka merangsang gelak tawa penonton.
6. Operet atau Operette adalah opera yang ceritanya lebih pendek.
7. Pantomim adalah drama yang ditampilkan dalam bentuk gerakan tubuh atau bahasa isyarat tanpa pembicaraan.
8. Tablau adalah drama yang mirip pantomim yang dibarengi oleh gerak-gerik anggota tubuh dan mimik wajah pelakunya.
9. Passie adalah drama yang mengandung unsur agama atau relijius. 10. Wayang adalah drama yang pemain dramanya adalah boneka wayang.
2.3 Unsur-Unsur Fiksi dan Drama
1) Unsur Ekstrinsik
Unsur yang membangun sebuah fiksi yang berasal dari luar sastra. Unsur ekstrinsik fiksi yang utama adalah pengarang, sensitivitas pengarang, pandangan hidup pengarang (tata nilai masyarakat, ideologi, konvensi budaya, konvensi sastra, konvensi bahasa).
2) Unsur intrinsik
Unsur yang membangun dari dalam fiksi tersebut. Dapat dibedakan menjadi dua, yakni unsur bentuk dan unsur isi atau lebih dikenal dengan unsur fisik dan unsur mental. Unsur bentuk (fisik): alur, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang, dan gaya bahasa. Unsur isi (mental): tema dan amanat. Plot, cara pengarang menyusun dan menghadirkan peristiwa-peristiwa dalam suatu cerita sastra yang berdasarkan hubungan kausalitas (sebab-akibat).Plot cerita tidak selalu berurutan, pengarang yang kreatif akan menyusun peristiwa cerita sehingga cerita menjadi absurd. Unsur-unsur fiksi adalah subjektivitas individu pengarang yang memiliki sikap , keyakinan, dan pandangan hidup yang kesemuanya itu akan mempengaruhi karya yang ditulisnya (Wellek & Warren, 1956 : 75-135).
Unsur-Unsur Drama
1) Intrinsik Merupakan unsur dalam atau unsur yang tidak tampak. Dalam unsur intrinsik ada:
- Tema yaitu ide pokok yang ingin disampaikan dari sebuah cerita.
- Alur / plot yaitu jalan cerita. - Latar / setting yaitu tempat kejadian.
- Amanat yaitu pesan yang hendak disampaikan penulis dari sebuah cerita.
2) Ekstrinsik Merupakan ubsur yang tampak, seperti adanya dialog / percakapan.
Namun, unsur-unsur ini bisa bertambah ketika naskah sudah dipentaskan. Di sana akan tampak panggung, properti, tokoh, sutradara, dan penonton.
2.4 Fakta Cerita Rekaan
Sebuah karya sastra, fiksi atau puisi, menurut kaum strukturalisme adalah sebuah totalitas yang dibangun secara koherensif oleh berbagai unsur pembangunnya. Struktur karya fiksi menyaran pada pengertian hubungan antar unsur yang bersifat timbal balik, saling menentukan, saling mempengaruhi, yang secara bersama-sama membentuk satu kesatuan yang utuh (Nurgiyantoro, 2000:36). Stanton mengatakan bahwa prosa fiksi dibangun dengan tiga unsur, yaitu plot, penokohan, latar atau setting.
1. Plot/alur Seperti yang dikemukakan Abrams dalam (Nurgiyantoro, 2000:136), plot dalam sebuah karya fiksi dikatakan memberi kejutan jika sesuatu yang dikisahkan atau kejadian-kejadian yang ditampilkan menyimpang, atau bahkan bertentangan dengan harapan kita sebagai pembaca.
2. Tokoh dan Penokohan Tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan di dalam berbagai peristiwa dalam cerita (Sudjiman dan Hariyanto, 1998:2.13). Sedangkan penokohan atau perwatakan ialah penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh di dalam karya sastra (Sudjiman dan Hariyanto, 1998:2.13). Nurgiyantoro (2000: 176) membedakan tokoh dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam cerita sebagai tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama senantiasa ada dalam setiap peristiwa di dalam cerita. Untuk menentukan siapa tokoh utama dalam cerita, kriteria yang biasa digunakan ialah:
a) Tokoh yang paling banyak berhubungan dengan tokoh lain.
b) Tokoh yang paling banyak dikisahkan oleh pengarangnya, dan
c) Tokoh yang paling banyak terlibat dengan tema cerita.
3. Latar atau setting Unsur yang menunjukkan di mana dan kapan peristiwa-peristiwa dalam kisah itu berlangsung disebut latar /setting ( Rahmanto dan Hariyanto, 1998:2.15). Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams dalam Nurgiyantoro, 2000:216). Lebih lanjut Rahmanto dan Hariyanto (1998:2.15) mendeskripsikan latar menjadi tiga kategori, yaitu: tempat, waktu, dan sosial. Yang dimaksud sebagai latar tempat adalah hal-hal yang berkaitan dengan masalah geografis, latar waktu berkaitan dengan masalah-masalah historis, dan latar sosial berhubungan dengan kehidupan kemasyarakatan. Kehadiran latar dalam sebuah cerita mempunyai fungsi, yaitu:
a) Untuk melukiskan dan meyakinkan pembaca tentang gerak dan tindakan tokoh.
b) Membantu mengetahui keseluruhan arti dari sebuah cerita.
c) Menciptakan atmosfir yang bermanfaat dan berguna menghidupkan peristiwa (Tarigan, 1984:136). Jadi, latar merupakan lingkungan cerita yang berkaitan dengan masalah tempat dan waktu terjadimya peristiwa, lingkungan sosial, dan lingkungan alam yang digambarkan guna menghidupkan peristiwa.
Cerita Rekaan Cerita rekaan merupakan cerita yang terwujud dari hasil olahan pengarang terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi. Berdasarkan rumusan seperti ini, cerita rekaan dapat berupa pandangan, tafsiran dan penilaian pengarang terhadap pengalaman yang terjadi.
Unsur Cerita Rekaan
a) Unsur Intrinsik
Sebuah karya sastra, termasuk cerkan pada dasarnya merupakan sebuah totalitas, suatu kesatuan menyeluruh yang bersifat artistik. Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun cerita itu sendiri dari dalam. Unsur-unsur itulah yang menegaskan sebuah karya dapat disebut atau dikelompokkan dalam karya sastra (cerita). Dengan demikian, unsur intrinsik merupakan salah satu acuan untuk menentukan keberadaan suatu cerkan. Robert Stanton mengelompokkan elemen-elemen pembangun cerkan menjadi tiga bagian, yaitu
(1) fakta cerita,
(2) sarana cerita, dan
(3) tema.
b) Unsur ekstrinsik
Mempunyai nilai estetik, jika pengarang mampu menuangkannya dalam satu rangkaian ide yang termanifestasi dari karakter tokoh, persoalan yang dihadapi, pemecahan persoalan. Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar cerkan, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisasi cerkan. Dengan kata lain, unsur ekstrinsik adalah unsur yang mempengaruhi bangun cerita, namun unsur tersebut tidak menjadi bagian di dalamnya.
BAB III SIMPULAN
Prosa sering diistilahkan dengan fiksi (fiction), teks naratif (narrative text) atau wacana naratif (narrative discourse). Prosa yang sejajar dengan istilah fiksi (arti rekaan) dapat diartikan karya naratif yang menceritakan sesuatu yang bersifat rekaan, tidak sungguh-sungguh terjadi di dunia nyata. Fiksi adalah suatu karya sastra yang mengungkap realitas kehidupan sehingga mampu mengembangkan daya imajinasi. Fiksi menurut Altenbernd dan Lewis yang dikutip oleh jakob sumardjo dam bukunya yang berjudul” Apresiasi Kesusastraan”(1955), menjelaskan bahwa fiksi dapat diartikan sebagai prosa naratif yang bersifat imajinatif, namun biasanya masuk akal dan mengandung kebenaran yang mendramatisasi hubungan – hubungan antar manusia Drama adalah salah satu jenis karya sastra yang mempunyai kelebihan dibandingkan dengan karya sastra jenis lain, yaitu unsur pementasan yang mengungkapkan isi cerita secara langsung dan dipertontonkan di depan umum. 3.1 Saran Dengan adanya makalah ini semoga dapat membantu mahasiswa untuk memperoleh informasi tentang sastra serta untuk memperdalam mempelajari bahasa Indonesia tentang prosa fiksi dan drama. Sebagai para calon guru hendaknya kita benar-benar profesional dalam disiplin ilmu yang kita kuasai sehingga dapat menularkan pengetahun kepada anak didik dengan baik. Kemampuan dan keterampilan bahasa yang kita miliki tidak hanya menuntut untuk menguasai teori semata tetapi juga menuntut kita mampu untuk mencontohkan dalam bentuk karya-karya nyata khususnya pada materi yang memerlukan praktik nyata seperti drama dan pembacaan puisi.
DAFTAR PUSTAKA
Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Sayuti, Suminto. 2000. Berkenalan dengan Prosa Fiksi. Yogyakarta: Gama Media. Deewojati, Cahyaningrum. 2010. Drama. Yogyakarta: Gadjah Mada university Press. Sumarta, Karsinem. 2013. Keterampilan Menulis. Pekanbaru. Universitas Islam Riau
Minggu, 13 April 2014
Sejarah Retorika
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Diantara karunia Tuhan yang paling besar bagi manusia ialah kemampuan berbicara. Kemampuan untuk mengungkapkan isi hatinya dengan bunyi yang dikeluarkan dari mulutnya. Berbicara telah membedakan manusia dari makhluk lain. Kambing dapat mengembik, tetapi ia tidak mampu menceritakan pengalaman masa kecilnya kepada kawan-kawannya. Malaikat dan jin mungkin dapat berbicara, tetapi itu hanya kita saksikan dalam cerita lama, kitab suci atau … film. Dengan berbicara, manusia mengungkapkan dirinya, mengatur lingkungannya, dan pada akhirnya menciptakan bangunan budaya insani. Lama sebelum lambing tulisan digunakan, orang sudah menggunakan bicara sebagai alat komunikasi. Bahkan setelah tulisan ditemukan sekalipun, bicara tetap lebih banyak digunakan. Ada beberapa kelebihan bicara yang tidak dapat digantikan dengan tulisan. Bicara lebih akrab, lebih pribadi (personal), lebih manusiawi. Tidak mengherankan, bila "ilmu bicara" telah dan sedang menjadi perhatian manusia. Dalam bab ini akan diuraikan sejarah retorika serta pengembangannya. Dengan uraian historis ini kita mengingat bahwa retorika adalah bidang studi komunikasi yang telah berumur tua, di samping menujukkan tempatnya yang layak dalam perkembangan ilmu komunikasi. Karena sejarahnya yang tua, retorika memperoleh makna yang cukup kaya.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah perkembangan retorika zaman yunani dan romawi serta siapa tokoh-tokohnya?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui sejarah perkembangan retorika dan tokoh-tokohnya.
BAB II PEMBAHASAN
1.1 Sejarah Perkembangan Retorika
Objek studi retorika setua kehidupan manusia. Kefasihan bicara mungkin pertama kali dipertunjukkan dalam upacara adat; kelahiran, kematian, lamaran, perkawinan, dan sebagainya. Pidato disampaikan oleh orang yang mempunyai status tinggi. Dalam perkembangan peradaban pidato melingkupi bidang yang lebih luas. "Sejarah manusia", kata Lewis Copeland dalam kata pengantar bukunya tentang pidato tokoh-tokoh besar dalam sejarah "terutama sekali adalah catatan peristiwa penting yang dramatis, yang serigkali disebabkan oleh pidato-pidato besar. Sejak Yunani dan Roma sampai zaman sekarang, kepandaian pidato dan kenegarawanan selalu berkaitan. Banyak jago pedang juga terkenal dengan kefasihan bicaranya yang menawan. Uraian sistematis retorika yang pertama diletakkan oleh orang Syracuse, sebuah koloni Yunani di Pulau Sicilia. Bertahun-tahun koloni itu diperintah para tiran. Tiran, dimana pun dan pada zaman apa pun, senang menggusur tanah rakyat. Kira-kira tahun 465 SM, rakyat melancarkan revolusi. Dictator ditumbangkan dan demokrasi ditegakkan. Pemerintah mengembalikan lagi tanah rakyat kepada pemiliknya yang sah. Masih di pulau Sicilia, tetapi di Agrigentum, hidup Empedocles (490-430 SM), filosof, mistikus, politisi dan sekaligus orator. Ia cerdas dan menguasai banyak pengetahuan. Sebagai filosof, ia pernah berguru kepada Pythagoras dan menulis The Nature of Things. Sebagai mistikus, ia percaya bahwa setiap orang bisa bersatu dengan Tuhan bila ia menjauhi perbuatan yang tercela. Sebagai politisi, ia memimpin pemberontakan untuk menggulingkan aristokrasi dan kekuasaan dictator. Sebagai orator, menurut Aristoteles, "Ia mengajarkan prinsip-prinsip retorika, yang kelak dijual Gorgias kepada penduduk Athena". Tahun 427 SM Gorgias dikirim sebagai duta ke Athena. Negeri itu sedang tumbuh sebagai Negara yang kaya. Kelas pedagang cosmopolitan sealin memiliki waktu luang lebih banyak, juga terbuka pada gagasan-gagasan baru. Di dewan Perwakilan Rakyat, di pengadilan, orang memerlukan kemampuan berpikir yang jernih dan logis serta berbicara yang jelas dan persuasive. Gorgias memenuhi kebutuhan "pasar" ini dengan mendirikan sekolah retorika. Gorgias menekankan dimensi bahasa yang puitis dan teknik berbicara impromptu. Berbeda dengan Gorgias, Demosthenes mengembangkan gaya bicara yang tidak berbunga-bunga, tetapi jelas dank eras. Dengan cerdik, ia menggabungkan narasi dan argumentasi. ia juga amat memperhatikan cara penyampaian (hypocrisies). Berdasarkan keyakinan ini, ia berlatihan pidato dengan sabar. Ia mengulang-ulangnya di depan cermin. Ia membuat gua, dan berbulan-bulan tinggal di sana, berlatih dengan diam-diam. Pada masa-masa ini, ia mencukur rambutnya sebelah, supaya ia tidak berani keluar dari persembunyiannya. Di mimbar, ia melengkungkan tubuhnya, bergerak berputar, meletakkan tangan di atas dahinya seperti berpikir, dan seringkali mengeraskan suaranya seperti menjerit. Salah satu risalah yang ditulisnya mengkritik kaum Sophis. Risalah ini ikut membantu berkembangnya kebencian kepada kaum Sophis. Di samping itu, kaum Sophis kebanyakan para pendatang asing di Athena. Orang selalu mecurigai yang dibawa orang asing. Apalagi mereka mengaku mengajarkan kebijaksanaan dengna menuntut bayaran. Yang tidak sanggup membayar tentu saja melepaskan kekecewaannya dengan mengecam mereka. Socrates, misalnya hanya sanggup membayar satu drachma untuk kursus yang diberikan Prodicus. Karena itu, ia hanya memperoleh dasar-dasar bahasa yang sangat rendah saja. Socrates mengkritik kaum Sophis sebagai para prostitute. Orang yang menjual kecantikan untuk memperoleh uang, kata Socrates, adalah prostitute. Begitu juga, orang yang menjual kebijaksanaan. Murid Socrates yang menerima pendapat gurunya tentang Sophisme adalah Plato. Plato menjadikan Gorgias dan Socrates sebagai contoh retorika yang palsu dan retorika yang benar, atau retorika yang berdasarkan pada Sophisme dan retorika yang berdasarkan pada filsafat. Sophisme mengajarkan kebenaran yang relative. Filsafat membawa orang kepada pengetahuan yang sejati. Ketika merumuskan retorika yang benar – yang membawa orang kepada hakikat – Plato membahas organisasi, gaya dan penyampaian pesan. Dalam karyanya, Dialog, Plato menganjurkan para pembicara untuk mengenal "jiwa" pendengarnya. Dengan demikian, Plato meletakkan dasar-dasar retorika ilmiah dan psikologi khalayak. Ia telah mengubah retorika sebagai sekumpulan teknik (Sophisme) menjadi sebuah wacana ilmiah. Aristoteles, murid Plato yang paling cerdas melanjutkan kajian retorika ilmiah. Ia menulis tiga jilid buku yang berjudul De Arte Rhetorica.
Dari Aristoteles dan ahli retorika klasik, kita memperoleh lima tahap penyusunan pidato: terkenal sebagai Lima Hukum Retorika (The Five Canons of Rhetoric).
1. Invention (penemuan). Pada tahap ini, pembicara menggali topic dan meneliti khalayak untuk mengetahui metode persuasi yang paling tepat.
2. Dispositio (penyusunan). Pada tahap ini, pembicara menyusun pidato atau mengorganisasikan pesan.
3. Elocutio (gaya). Pada tahap ini, pembicara memilih kata-kata dan menggunakan bahasa yang tepat untuk 'mengemas" pesannya.
4. Memoria (memori). Pada tahap ini, pembicara harus mengingat apa yang ingin disampaikannya, dengan mengatur bahan-bahan pembicaraannya.
5. Pronuntiatio (penyampaian).
1. Retorika Zaman Yunani
Menurut sejarah perkembanganya, retorika mula-mula tumbuh dan berkembang di Yunani pada abad ke V dank e VI sebelum masehi. Menurut pengertianya yang asli, retorika adalah sebuah telaah atau studi yang simpatik mengenai oratoria atau seni berpidato. Kemampuan dan kemahiran bahasa pada waktu itu diabdikan untuk menyampaikan pikiran dan gagasan melalui pidato-pidato kepada kelompok-kelompok massa tertentu guna mencapai tujuan tertentu. Orang yang pertama dianggap memperkenalkan oratori atau seni berpidato adalah orang Yunani Sicilia. Tetapi tokoh pendiri sebenarnya adalah Corax dari Sirakusa (500 SM).
Inilah yang mula-mula meletakkan sistematika oratori atas lima bagian, yaitu:
1) Proem atau pengantar dari pidato yang akan disampaikan.
2) Diegesis atau narration: bagian yang mengandung uraian tentang pokok persoalan yang akan dikemukakan.
3) Agon atau argument: bagian pidato yang mengemukakan bukti-bukti mengenai pokok persoalan yang dikemukakan itu.
4) Parekbasis atau digression: catatan pelengkap yang mengemukakan keterangan-keterangan lainnya yang dianggap perlu untuk menjelaskan persoalan tadi.
5) Peroration: bagian penutup pidato yang mengemukakan kesimpulan dan saran-saran.
Sudah sejak permulaan perkembangan retorika timbul perbedaan pendapat (Icontroversiae, kontroversi) mengenai beberapa hal yang menyangkut retorika. Kontroversi tersebut mrnyangkut persoalan pemakaian unsur stilistika, maslah hubungan antara retorika dan moral, dan masalah pendidikan. Kontroversi pertama menyangkut persoalan : apakah perlu mempergunalkan unsur-unsur stilistika dalam pidato-pidato. Ada tiga aliran, yuaitu yangt menyetujui penggunaan unsure stilistika, yang menolak dan yang berada diluar kedua aliran pertama. Gorgias dari liontini, yang mula-mula memperkenalkan retorilka pada orang Athena( sekitar 427 SM), berpendapat bahwa perlu menggunakan upaya-upaya stilistika dalam retorika. Sebab itu gaya yang digunakan untuk pidato penuh dengan upaya-upaya stilistika: epitet-epitet penuh hiasan, anti tese-antitese, terminasi (akhir kata) yang penuh ritmis dan bersajak. Nilai antitese-antitese tersebut dapat dilihat kelak dalam pidato maupun narasi historis dari Thucydides, dan dalam argumentasi yang berbentuk sandiwara karangan Euripides. Pemakaian unsur stilistika yang berlebihan ini kjemudian menimbulkan reaksi yang keras dan dengan sendirinya melahirkan aliran yang kedua. Aliran ke dua ini menghendaki suatu bentuk gaya yang sederhana, seperti karya yang tampak pada lysias. Sebenaranya kedua aliran ini mencari criteria bagi keunggulan karya mereka dalam hal: kejelasan, kesan, kepatutan, keindahan dan kemunian bahasa. Seoran tokoh lain yang berada diluar kedua tokoh tesebut adalah Isocrates. Sedangkan Demosthenes berusaha untuk mempertemukan kedua belah pihak yang bertentangan itu. Kontroversi kedua menyangkut relasi antara retorika dan moral: apakah alam pidato juga diinahkan masalah moral. Dalam poidato biasanya tidak dikmukakan pembuktian-pembuktian secara ilmiah. Pidato lebih banyak berbicara mengenai kemungkinan-kemungkinan, karena pendengar biasanya adalah orang-orang yang tidak berpendidikan, atau orang yang tidak senang mendengarkan pidato. Sebab itu gorgias perpendirian bahwa seorang orator harus menyampaikan bukti-bukti baik mengenai keadilan maupun ketidakadilan dengan cara yang sama baik. Ia berpendapat bahwa retorika merupakan alat yang mubazir (amoral), pendirian ini dikecam oleh lawan-lawanya yang beranggapan bahwa kemampuan oratoris memiliki suatu ciri moral yang essensial karena kebenaran dan keadilan member kemungkinan yang paling baik bagi persuasi. Pandangan terakhir ini kemudian diperkuat oleh aistoteles. Pandangan ini memberikan sumbangan yang besar dalam bidang teori, namun kenyataan yang dihadapi ialah bahwa kemahiran seorang orator telah member perimbangan yang berlawanan bagi persuasi, sebab itu pengauh georgias tetap bertahan juga sampai jaman renaissances. Kontroversi yang ketiga yang juga sudah muncul sejak permulaan perkembangan retorika adalah masalah pendidikan. Kontroversi yang kedua mempunyai kaitan dengan kontroversi yang ketiga ini. Ahli-ahli retorika yang mempunyai tanggungjawab moral dalam retorika, mengkritik rekan-rekan mereka yang mencoba memperoleh keuntungan dalam profesi mereka, terutama dlam pengadilan. Akibatnya mereka juga tidak mencapai kata sepakat untuk topik manasaja yang harus dimasukkan kedalam mata pelajaran retorika dipusat-pusat pendidikan. Isocrates misalnya (pertengahan abad ke-IV SM) berpendapat bahwa aspek-aspek politik dapat dimasukkan dalam pelajran retorika. Pendapatnya ini dituangkan dalam karyanya antidosis. Karangan plato (1428-348 SM) gorgias dan Phaedrus membicarakan juga topic yang dipertentangkan itu. Gorgias membicarakan masalah etika dan politik, sedang Phaedrus membicarakan etika dan mistik. Dalam Phaedrus karya plato, Socrates memaklumkan bahwa retorika adalah suatu seni yang dangkal yang dapat memperoleh nilai kalau amatanya mengambil dalam alam bagian filsafat.
2. Retorika Zaman Romawi
Teori retorika Aristoteles sangat sistematis dan komprehensif. Pada satu sisi, retorika telah memperoleh dasar teoretis yang kokoh. Namun, pada sisi lain, uraiannya yang lengkap dan persuasive telah membungkam para ahi retorika yang datang sesudahnya. Orang-orang Romawi selama dua ratus tahun setelah De Arte Rhetorica tidak menambahkan apa-apa yang berarti bagi perkembangan retorika. Caesar, penguasa Romawi yang ditakuti, memuji Cicero, "Anda telah menemukan semua khazanah retorika, dan Andalah orang pertama yang menggunakan semuanya. Anda telah memperoleh kemenangan yang lebih disukai dari kemenangan para jenderal. Karena sesungguhnya lebih agung memperluas batas-batas kecerdasan manusia daripada memperluas batas-batas kerajaan Romawi. Puluhan tahun sepeninggal Cicero, Quintillianus mendirikan sekolah retorika. Ia sangat mengagumi Cicero dan berusaha merumuskan teori-teori retorika dari pidato dan tulisannya. Apa yang dapat kita pelajari dari Quintillianus? Banyak. Secara singkat, Will Durant menceritakan kuliah retorika Quantillianus, yang dituliskannya dalam buku Institutio Oratoria.
3. Retorika Abad Pertengahan
Sejak zaman Yunani sampai zaman Romawi, retorika selalu berkaitan dengan kenegarawanan. Para orator umumnya terlibat dalam kegiatan politik. Ada dua cara untuk memperoleh kemenangan politik talk it out (membicarakan sampai tuntas) atau shoot it out (menembak sampai habis). Retorika subur pada cara pertama, cara demokrasi. Ketika demokrasi Romawi mengalami kemunduran, dan kaisar demi kaisar memegang pemerintah, "membicarakan" diganti dengan "menembak". Retorika tersingkir ke belakang panggung. Para kaisar tidak senang mendengar orang yang pandai berbicara. Abad pertengahan sering disebut abad kegelapan, juga buat retorika. Ketika agama Kristen berkuasa, retorika dianggap sebagai kesenian jahiliah. Banyak orang Kristen waktu itu melarang mempelajari retorika yang dirumuskan oleh orang-orang Yunani dan Romawi, para penyembah berhala. Bila orang memeluk agama Kristen, secara otomatis ia akan memiliki kemampuan untuk menyampaikan kebenaran. St. Agustinus, yang telah mempelajari retorika sebelum masuk Kristen tahun 386, adalah kekecualian pada zaman itu. Satu Abad kemudian, di Timur muncul peradaban baru. Seorang Nabi menyampaikan Firman Tuhan, "Berilah mereka nasihat dan berbicaralah kepada mereka dengan pembicaraan yang menyentuh jiwa mereka" (QS. 4: 63). Muhammad saw bersabda, memperteguh firman Tuhan ini, "Sesungguhnya dalam kemampuan berbicara yang baik itu ada sihirnya" Balaghah menjadi disiplin ilmu yang menduduki status yang mulia dalam peradaban Islam. Kaum Muslim menggunakan balaghah sebagai pengganti retorika. Tetapi, warisan retorika Yunani, yang dicampakkan di Eropa Abad Pertengahan, dikaji dengan tekun oleh para ahli balaghah. Saying, sangat kurang sekali studi berkenaan dengan kontribusi Balaghah pada retorika modern. Balaghah, berarti ma'ani dan bayan, masih bersembunyi di pesantren-pesantren.
4. Retorika Modern
Abad pertengahan berlangsung selama seribu tahun (400-1400). Di Eropa, selama periode panjang itu, warisan peradaban Yunani diabaikan. Pertemuan orang Eropa dengan Islam–yang menyimpan dan mengembangkan khazanah Yunani – dalam Perang Salib menimbulkan Renaisance. Salah seorang pemikir Renaissance yang menarik kembali minat orang pada retorika adalah Peter Ramus. Ia membagi Retorika pada dua bagian. Inventio dan disposition dimasukkannya sebagai bagian logika. Sedangkan retorika hanyalah berkenaan dengan elocution dan pronuntiatio saja. Taksonomi Ramus berlangsung selama beberapa generasi. Renaissance mengantarkan kita kepada retorika modern. Yang membangunkan jembatan, menghubungkan Renaissance dengan retorika modern adalah Roger Bacon (1214-1219). Ia bukan saja memperkenalkan metode eksperimental, tetapi juga pentingnya pengetahuan tentang proses psikologis dalam studi retorika. Ia menyatakan "… kewajiban retorika ialah menggunakan rasio dan imajinasi untuk menggerakkan kemauan secara lebih baik". Rasio, imajinasi, kemauan adalah fakultas-fakultas psikologis yang kelak menjadi kajian utama ahli retorika modern. Aliran pertama retorika dalam masa modern, yang menekankan proses psikologis, dikenal sebagai aliran Epistemologis. Epistemology membahas "teori pengetahuan"; asal-usul, sifat, metode dan batas-batas pengetahuan manusia. Para pemikir epistemologis berkuasa mengkaji retorika klasik dlaam sorotan perkembangan psikologi kognitif (yakni, yang membahas proses mental). Aliran retorika modern kedua dikenal sebagai belles letters (Bahasa Pracis: tuisan yang indah). Rtorika belletrist sangat mengutamakan keindahan bahasa, segi-segi estetis pesan, kadang-kadang degnan mengabaikan segi informatifnya. Hugh Blair (1718-1800) menulis Lectures on Rhetoric and Belles Lettres . Di sini ia menjelaskan hubungan antara retorika, sastra dan kritik. Ia memperkenalkan fakultas citarasa (taste), yaitu kemampuan untuk memperoleh kenikmatan dari pertemuan dengan apa pun yang indah. Karena memiliki fakultas citarasa, Anda senang mendengarkan musik yang indah, membaca tulisan yang indah, melihat pemandangan yang indah, atau mencamkan pidato yang indah. Citarasa, kata Blair, mencapai kesempurnaan ketika kenikmatan inderawi dipadukan dengan rasio-ketika rasio dapat menjelaskan sumber-sumber kenikmatan. Pada abad kedua puluh, retorika mengambil manfaat dari perkembangan ilmu pengetahuan modern – khususnya ilmu-ilmu perilaku seperti psikologi dan sosiologi. Istilah retorika pun mulai digeser oleh speech, speech communication, atau oral communication, atau public speaking.
Dibawah ini diperkenalkan sebagian dari tokoh-tokoh retorika mutakhir:
1. James A. Winans
2. Charles Henry Woolbert
3. William Noorwood Brigance
4. Alan H. Monroe
BAB II PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan makalah tersebut diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa, Dari Aristoteles dan ahli retorika klasik, kita memperoleh lima tahap penyusunan pidato: terkenal sebagai Lima Hukum Retorika (The Five Canons of Rhetoric).
1. Invention (penemuan)
2. Dispositio (penyusunan).
3. Elocutio (gaya).
4. Memoria (memori).
5. Pronuntiatio (penyampaian).
Abad pertengahan sering disebut abad kegelapan, juga buat retorika. Ketika agama Kristen berkuasa, retorika dianggap sebagai kesenian jahiliah. Banyak orang Kristen waktu itu melarang mempelajari retorika yang dirumuskan oleh orang-orang Yunani dan Romawi, para penyembah berhala. Bila orang memeluk agama Kristen, secara otomatis ia akan memiliki kemampuan untuk menyampaikan kebenaran. Renaissance mengantarkan kita kepada retorika modern. Yang membangunkan jembatan, menghubungkan Renaissance dengan retorika modern adalah Roger Bacon (1214-1219).
DAFTAR PUSTAKA
Rakhmat Jalaludin, 2011.Retorika Modern. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Arifin. 2004.
Psikologi Dakwah Pengantar studi. Jakarta: Bumi Aksara. Muchsin Effendi, Lalu. 2006. Psikologi Dakwah. Jakarta: Kencana. http://idamanmimpi.blogspot.com/2011/01/sejarah-retorika-pada-zaman-yunani.html
1.1 Latar Belakang
Diantara karunia Tuhan yang paling besar bagi manusia ialah kemampuan berbicara. Kemampuan untuk mengungkapkan isi hatinya dengan bunyi yang dikeluarkan dari mulutnya. Berbicara telah membedakan manusia dari makhluk lain. Kambing dapat mengembik, tetapi ia tidak mampu menceritakan pengalaman masa kecilnya kepada kawan-kawannya. Malaikat dan jin mungkin dapat berbicara, tetapi itu hanya kita saksikan dalam cerita lama, kitab suci atau … film. Dengan berbicara, manusia mengungkapkan dirinya, mengatur lingkungannya, dan pada akhirnya menciptakan bangunan budaya insani. Lama sebelum lambing tulisan digunakan, orang sudah menggunakan bicara sebagai alat komunikasi. Bahkan setelah tulisan ditemukan sekalipun, bicara tetap lebih banyak digunakan. Ada beberapa kelebihan bicara yang tidak dapat digantikan dengan tulisan. Bicara lebih akrab, lebih pribadi (personal), lebih manusiawi. Tidak mengherankan, bila "ilmu bicara" telah dan sedang menjadi perhatian manusia. Dalam bab ini akan diuraikan sejarah retorika serta pengembangannya. Dengan uraian historis ini kita mengingat bahwa retorika adalah bidang studi komunikasi yang telah berumur tua, di samping menujukkan tempatnya yang layak dalam perkembangan ilmu komunikasi. Karena sejarahnya yang tua, retorika memperoleh makna yang cukup kaya.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah perkembangan retorika zaman yunani dan romawi serta siapa tokoh-tokohnya?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui sejarah perkembangan retorika dan tokoh-tokohnya.
BAB II PEMBAHASAN
1.1 Sejarah Perkembangan Retorika
Objek studi retorika setua kehidupan manusia. Kefasihan bicara mungkin pertama kali dipertunjukkan dalam upacara adat; kelahiran, kematian, lamaran, perkawinan, dan sebagainya. Pidato disampaikan oleh orang yang mempunyai status tinggi. Dalam perkembangan peradaban pidato melingkupi bidang yang lebih luas. "Sejarah manusia", kata Lewis Copeland dalam kata pengantar bukunya tentang pidato tokoh-tokoh besar dalam sejarah "terutama sekali adalah catatan peristiwa penting yang dramatis, yang serigkali disebabkan oleh pidato-pidato besar. Sejak Yunani dan Roma sampai zaman sekarang, kepandaian pidato dan kenegarawanan selalu berkaitan. Banyak jago pedang juga terkenal dengan kefasihan bicaranya yang menawan. Uraian sistematis retorika yang pertama diletakkan oleh orang Syracuse, sebuah koloni Yunani di Pulau Sicilia. Bertahun-tahun koloni itu diperintah para tiran. Tiran, dimana pun dan pada zaman apa pun, senang menggusur tanah rakyat. Kira-kira tahun 465 SM, rakyat melancarkan revolusi. Dictator ditumbangkan dan demokrasi ditegakkan. Pemerintah mengembalikan lagi tanah rakyat kepada pemiliknya yang sah. Masih di pulau Sicilia, tetapi di Agrigentum, hidup Empedocles (490-430 SM), filosof, mistikus, politisi dan sekaligus orator. Ia cerdas dan menguasai banyak pengetahuan. Sebagai filosof, ia pernah berguru kepada Pythagoras dan menulis The Nature of Things. Sebagai mistikus, ia percaya bahwa setiap orang bisa bersatu dengan Tuhan bila ia menjauhi perbuatan yang tercela. Sebagai politisi, ia memimpin pemberontakan untuk menggulingkan aristokrasi dan kekuasaan dictator. Sebagai orator, menurut Aristoteles, "Ia mengajarkan prinsip-prinsip retorika, yang kelak dijual Gorgias kepada penduduk Athena". Tahun 427 SM Gorgias dikirim sebagai duta ke Athena. Negeri itu sedang tumbuh sebagai Negara yang kaya. Kelas pedagang cosmopolitan sealin memiliki waktu luang lebih banyak, juga terbuka pada gagasan-gagasan baru. Di dewan Perwakilan Rakyat, di pengadilan, orang memerlukan kemampuan berpikir yang jernih dan logis serta berbicara yang jelas dan persuasive. Gorgias memenuhi kebutuhan "pasar" ini dengan mendirikan sekolah retorika. Gorgias menekankan dimensi bahasa yang puitis dan teknik berbicara impromptu. Berbeda dengan Gorgias, Demosthenes mengembangkan gaya bicara yang tidak berbunga-bunga, tetapi jelas dank eras. Dengan cerdik, ia menggabungkan narasi dan argumentasi. ia juga amat memperhatikan cara penyampaian (hypocrisies). Berdasarkan keyakinan ini, ia berlatihan pidato dengan sabar. Ia mengulang-ulangnya di depan cermin. Ia membuat gua, dan berbulan-bulan tinggal di sana, berlatih dengan diam-diam. Pada masa-masa ini, ia mencukur rambutnya sebelah, supaya ia tidak berani keluar dari persembunyiannya. Di mimbar, ia melengkungkan tubuhnya, bergerak berputar, meletakkan tangan di atas dahinya seperti berpikir, dan seringkali mengeraskan suaranya seperti menjerit. Salah satu risalah yang ditulisnya mengkritik kaum Sophis. Risalah ini ikut membantu berkembangnya kebencian kepada kaum Sophis. Di samping itu, kaum Sophis kebanyakan para pendatang asing di Athena. Orang selalu mecurigai yang dibawa orang asing. Apalagi mereka mengaku mengajarkan kebijaksanaan dengna menuntut bayaran. Yang tidak sanggup membayar tentu saja melepaskan kekecewaannya dengan mengecam mereka. Socrates, misalnya hanya sanggup membayar satu drachma untuk kursus yang diberikan Prodicus. Karena itu, ia hanya memperoleh dasar-dasar bahasa yang sangat rendah saja. Socrates mengkritik kaum Sophis sebagai para prostitute. Orang yang menjual kecantikan untuk memperoleh uang, kata Socrates, adalah prostitute. Begitu juga, orang yang menjual kebijaksanaan. Murid Socrates yang menerima pendapat gurunya tentang Sophisme adalah Plato. Plato menjadikan Gorgias dan Socrates sebagai contoh retorika yang palsu dan retorika yang benar, atau retorika yang berdasarkan pada Sophisme dan retorika yang berdasarkan pada filsafat. Sophisme mengajarkan kebenaran yang relative. Filsafat membawa orang kepada pengetahuan yang sejati. Ketika merumuskan retorika yang benar – yang membawa orang kepada hakikat – Plato membahas organisasi, gaya dan penyampaian pesan. Dalam karyanya, Dialog, Plato menganjurkan para pembicara untuk mengenal "jiwa" pendengarnya. Dengan demikian, Plato meletakkan dasar-dasar retorika ilmiah dan psikologi khalayak. Ia telah mengubah retorika sebagai sekumpulan teknik (Sophisme) menjadi sebuah wacana ilmiah. Aristoteles, murid Plato yang paling cerdas melanjutkan kajian retorika ilmiah. Ia menulis tiga jilid buku yang berjudul De Arte Rhetorica.
Dari Aristoteles dan ahli retorika klasik, kita memperoleh lima tahap penyusunan pidato: terkenal sebagai Lima Hukum Retorika (The Five Canons of Rhetoric).
1. Invention (penemuan). Pada tahap ini, pembicara menggali topic dan meneliti khalayak untuk mengetahui metode persuasi yang paling tepat.
2. Dispositio (penyusunan). Pada tahap ini, pembicara menyusun pidato atau mengorganisasikan pesan.
3. Elocutio (gaya). Pada tahap ini, pembicara memilih kata-kata dan menggunakan bahasa yang tepat untuk 'mengemas" pesannya.
4. Memoria (memori). Pada tahap ini, pembicara harus mengingat apa yang ingin disampaikannya, dengan mengatur bahan-bahan pembicaraannya.
5. Pronuntiatio (penyampaian).
1. Retorika Zaman Yunani
Menurut sejarah perkembanganya, retorika mula-mula tumbuh dan berkembang di Yunani pada abad ke V dank e VI sebelum masehi. Menurut pengertianya yang asli, retorika adalah sebuah telaah atau studi yang simpatik mengenai oratoria atau seni berpidato. Kemampuan dan kemahiran bahasa pada waktu itu diabdikan untuk menyampaikan pikiran dan gagasan melalui pidato-pidato kepada kelompok-kelompok massa tertentu guna mencapai tujuan tertentu. Orang yang pertama dianggap memperkenalkan oratori atau seni berpidato adalah orang Yunani Sicilia. Tetapi tokoh pendiri sebenarnya adalah Corax dari Sirakusa (500 SM).
Inilah yang mula-mula meletakkan sistematika oratori atas lima bagian, yaitu:
1) Proem atau pengantar dari pidato yang akan disampaikan.
2) Diegesis atau narration: bagian yang mengandung uraian tentang pokok persoalan yang akan dikemukakan.
3) Agon atau argument: bagian pidato yang mengemukakan bukti-bukti mengenai pokok persoalan yang dikemukakan itu.
4) Parekbasis atau digression: catatan pelengkap yang mengemukakan keterangan-keterangan lainnya yang dianggap perlu untuk menjelaskan persoalan tadi.
5) Peroration: bagian penutup pidato yang mengemukakan kesimpulan dan saran-saran.
Sudah sejak permulaan perkembangan retorika timbul perbedaan pendapat (Icontroversiae, kontroversi) mengenai beberapa hal yang menyangkut retorika. Kontroversi tersebut mrnyangkut persoalan pemakaian unsur stilistika, maslah hubungan antara retorika dan moral, dan masalah pendidikan. Kontroversi pertama menyangkut persoalan : apakah perlu mempergunalkan unsur-unsur stilistika dalam pidato-pidato. Ada tiga aliran, yuaitu yangt menyetujui penggunaan unsure stilistika, yang menolak dan yang berada diluar kedua aliran pertama. Gorgias dari liontini, yang mula-mula memperkenalkan retorilka pada orang Athena( sekitar 427 SM), berpendapat bahwa perlu menggunakan upaya-upaya stilistika dalam retorika. Sebab itu gaya yang digunakan untuk pidato penuh dengan upaya-upaya stilistika: epitet-epitet penuh hiasan, anti tese-antitese, terminasi (akhir kata) yang penuh ritmis dan bersajak. Nilai antitese-antitese tersebut dapat dilihat kelak dalam pidato maupun narasi historis dari Thucydides, dan dalam argumentasi yang berbentuk sandiwara karangan Euripides. Pemakaian unsur stilistika yang berlebihan ini kjemudian menimbulkan reaksi yang keras dan dengan sendirinya melahirkan aliran yang kedua. Aliran ke dua ini menghendaki suatu bentuk gaya yang sederhana, seperti karya yang tampak pada lysias. Sebenaranya kedua aliran ini mencari criteria bagi keunggulan karya mereka dalam hal: kejelasan, kesan, kepatutan, keindahan dan kemunian bahasa. Seoran tokoh lain yang berada diluar kedua tokoh tesebut adalah Isocrates. Sedangkan Demosthenes berusaha untuk mempertemukan kedua belah pihak yang bertentangan itu. Kontroversi kedua menyangkut relasi antara retorika dan moral: apakah alam pidato juga diinahkan masalah moral. Dalam poidato biasanya tidak dikmukakan pembuktian-pembuktian secara ilmiah. Pidato lebih banyak berbicara mengenai kemungkinan-kemungkinan, karena pendengar biasanya adalah orang-orang yang tidak berpendidikan, atau orang yang tidak senang mendengarkan pidato. Sebab itu gorgias perpendirian bahwa seorang orator harus menyampaikan bukti-bukti baik mengenai keadilan maupun ketidakadilan dengan cara yang sama baik. Ia berpendapat bahwa retorika merupakan alat yang mubazir (amoral), pendirian ini dikecam oleh lawan-lawanya yang beranggapan bahwa kemampuan oratoris memiliki suatu ciri moral yang essensial karena kebenaran dan keadilan member kemungkinan yang paling baik bagi persuasi. Pandangan terakhir ini kemudian diperkuat oleh aistoteles. Pandangan ini memberikan sumbangan yang besar dalam bidang teori, namun kenyataan yang dihadapi ialah bahwa kemahiran seorang orator telah member perimbangan yang berlawanan bagi persuasi, sebab itu pengauh georgias tetap bertahan juga sampai jaman renaissances. Kontroversi yang ketiga yang juga sudah muncul sejak permulaan perkembangan retorika adalah masalah pendidikan. Kontroversi yang kedua mempunyai kaitan dengan kontroversi yang ketiga ini. Ahli-ahli retorika yang mempunyai tanggungjawab moral dalam retorika, mengkritik rekan-rekan mereka yang mencoba memperoleh keuntungan dalam profesi mereka, terutama dlam pengadilan. Akibatnya mereka juga tidak mencapai kata sepakat untuk topik manasaja yang harus dimasukkan kedalam mata pelajaran retorika dipusat-pusat pendidikan. Isocrates misalnya (pertengahan abad ke-IV SM) berpendapat bahwa aspek-aspek politik dapat dimasukkan dalam pelajran retorika. Pendapatnya ini dituangkan dalam karyanya antidosis. Karangan plato (1428-348 SM) gorgias dan Phaedrus membicarakan juga topic yang dipertentangkan itu. Gorgias membicarakan masalah etika dan politik, sedang Phaedrus membicarakan etika dan mistik. Dalam Phaedrus karya plato, Socrates memaklumkan bahwa retorika adalah suatu seni yang dangkal yang dapat memperoleh nilai kalau amatanya mengambil dalam alam bagian filsafat.
2. Retorika Zaman Romawi
Teori retorika Aristoteles sangat sistematis dan komprehensif. Pada satu sisi, retorika telah memperoleh dasar teoretis yang kokoh. Namun, pada sisi lain, uraiannya yang lengkap dan persuasive telah membungkam para ahi retorika yang datang sesudahnya. Orang-orang Romawi selama dua ratus tahun setelah De Arte Rhetorica tidak menambahkan apa-apa yang berarti bagi perkembangan retorika. Caesar, penguasa Romawi yang ditakuti, memuji Cicero, "Anda telah menemukan semua khazanah retorika, dan Andalah orang pertama yang menggunakan semuanya. Anda telah memperoleh kemenangan yang lebih disukai dari kemenangan para jenderal. Karena sesungguhnya lebih agung memperluas batas-batas kecerdasan manusia daripada memperluas batas-batas kerajaan Romawi. Puluhan tahun sepeninggal Cicero, Quintillianus mendirikan sekolah retorika. Ia sangat mengagumi Cicero dan berusaha merumuskan teori-teori retorika dari pidato dan tulisannya. Apa yang dapat kita pelajari dari Quintillianus? Banyak. Secara singkat, Will Durant menceritakan kuliah retorika Quantillianus, yang dituliskannya dalam buku Institutio Oratoria.
3. Retorika Abad Pertengahan
Sejak zaman Yunani sampai zaman Romawi, retorika selalu berkaitan dengan kenegarawanan. Para orator umumnya terlibat dalam kegiatan politik. Ada dua cara untuk memperoleh kemenangan politik talk it out (membicarakan sampai tuntas) atau shoot it out (menembak sampai habis). Retorika subur pada cara pertama, cara demokrasi. Ketika demokrasi Romawi mengalami kemunduran, dan kaisar demi kaisar memegang pemerintah, "membicarakan" diganti dengan "menembak". Retorika tersingkir ke belakang panggung. Para kaisar tidak senang mendengar orang yang pandai berbicara. Abad pertengahan sering disebut abad kegelapan, juga buat retorika. Ketika agama Kristen berkuasa, retorika dianggap sebagai kesenian jahiliah. Banyak orang Kristen waktu itu melarang mempelajari retorika yang dirumuskan oleh orang-orang Yunani dan Romawi, para penyembah berhala. Bila orang memeluk agama Kristen, secara otomatis ia akan memiliki kemampuan untuk menyampaikan kebenaran. St. Agustinus, yang telah mempelajari retorika sebelum masuk Kristen tahun 386, adalah kekecualian pada zaman itu. Satu Abad kemudian, di Timur muncul peradaban baru. Seorang Nabi menyampaikan Firman Tuhan, "Berilah mereka nasihat dan berbicaralah kepada mereka dengan pembicaraan yang menyentuh jiwa mereka" (QS. 4: 63). Muhammad saw bersabda, memperteguh firman Tuhan ini, "Sesungguhnya dalam kemampuan berbicara yang baik itu ada sihirnya" Balaghah menjadi disiplin ilmu yang menduduki status yang mulia dalam peradaban Islam. Kaum Muslim menggunakan balaghah sebagai pengganti retorika. Tetapi, warisan retorika Yunani, yang dicampakkan di Eropa Abad Pertengahan, dikaji dengan tekun oleh para ahli balaghah. Saying, sangat kurang sekali studi berkenaan dengan kontribusi Balaghah pada retorika modern. Balaghah, berarti ma'ani dan bayan, masih bersembunyi di pesantren-pesantren.
4. Retorika Modern
Abad pertengahan berlangsung selama seribu tahun (400-1400). Di Eropa, selama periode panjang itu, warisan peradaban Yunani diabaikan. Pertemuan orang Eropa dengan Islam–yang menyimpan dan mengembangkan khazanah Yunani – dalam Perang Salib menimbulkan Renaisance. Salah seorang pemikir Renaissance yang menarik kembali minat orang pada retorika adalah Peter Ramus. Ia membagi Retorika pada dua bagian. Inventio dan disposition dimasukkannya sebagai bagian logika. Sedangkan retorika hanyalah berkenaan dengan elocution dan pronuntiatio saja. Taksonomi Ramus berlangsung selama beberapa generasi. Renaissance mengantarkan kita kepada retorika modern. Yang membangunkan jembatan, menghubungkan Renaissance dengan retorika modern adalah Roger Bacon (1214-1219). Ia bukan saja memperkenalkan metode eksperimental, tetapi juga pentingnya pengetahuan tentang proses psikologis dalam studi retorika. Ia menyatakan "… kewajiban retorika ialah menggunakan rasio dan imajinasi untuk menggerakkan kemauan secara lebih baik". Rasio, imajinasi, kemauan adalah fakultas-fakultas psikologis yang kelak menjadi kajian utama ahli retorika modern. Aliran pertama retorika dalam masa modern, yang menekankan proses psikologis, dikenal sebagai aliran Epistemologis. Epistemology membahas "teori pengetahuan"; asal-usul, sifat, metode dan batas-batas pengetahuan manusia. Para pemikir epistemologis berkuasa mengkaji retorika klasik dlaam sorotan perkembangan psikologi kognitif (yakni, yang membahas proses mental). Aliran retorika modern kedua dikenal sebagai belles letters (Bahasa Pracis: tuisan yang indah). Rtorika belletrist sangat mengutamakan keindahan bahasa, segi-segi estetis pesan, kadang-kadang degnan mengabaikan segi informatifnya. Hugh Blair (1718-1800) menulis Lectures on Rhetoric and Belles Lettres . Di sini ia menjelaskan hubungan antara retorika, sastra dan kritik. Ia memperkenalkan fakultas citarasa (taste), yaitu kemampuan untuk memperoleh kenikmatan dari pertemuan dengan apa pun yang indah. Karena memiliki fakultas citarasa, Anda senang mendengarkan musik yang indah, membaca tulisan yang indah, melihat pemandangan yang indah, atau mencamkan pidato yang indah. Citarasa, kata Blair, mencapai kesempurnaan ketika kenikmatan inderawi dipadukan dengan rasio-ketika rasio dapat menjelaskan sumber-sumber kenikmatan. Pada abad kedua puluh, retorika mengambil manfaat dari perkembangan ilmu pengetahuan modern – khususnya ilmu-ilmu perilaku seperti psikologi dan sosiologi. Istilah retorika pun mulai digeser oleh speech, speech communication, atau oral communication, atau public speaking.
Dibawah ini diperkenalkan sebagian dari tokoh-tokoh retorika mutakhir:
1. James A. Winans
2. Charles Henry Woolbert
3. William Noorwood Brigance
4. Alan H. Monroe
BAB II PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan makalah tersebut diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa, Dari Aristoteles dan ahli retorika klasik, kita memperoleh lima tahap penyusunan pidato: terkenal sebagai Lima Hukum Retorika (The Five Canons of Rhetoric).
1. Invention (penemuan)
2. Dispositio (penyusunan).
3. Elocutio (gaya).
4. Memoria (memori).
5. Pronuntiatio (penyampaian).
Abad pertengahan sering disebut abad kegelapan, juga buat retorika. Ketika agama Kristen berkuasa, retorika dianggap sebagai kesenian jahiliah. Banyak orang Kristen waktu itu melarang mempelajari retorika yang dirumuskan oleh orang-orang Yunani dan Romawi, para penyembah berhala. Bila orang memeluk agama Kristen, secara otomatis ia akan memiliki kemampuan untuk menyampaikan kebenaran. Renaissance mengantarkan kita kepada retorika modern. Yang membangunkan jembatan, menghubungkan Renaissance dengan retorika modern adalah Roger Bacon (1214-1219).
DAFTAR PUSTAKA
Rakhmat Jalaludin, 2011.Retorika Modern. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Arifin. 2004.
Psikologi Dakwah Pengantar studi. Jakarta: Bumi Aksara. Muchsin Effendi, Lalu. 2006. Psikologi Dakwah. Jakarta: Kencana. http://idamanmimpi.blogspot.com/2011/01/sejarah-retorika-pada-zaman-yunani.html
Langganan:
Postingan (Atom)